youtube: Sabrina Anggraini |
Pernah nggak sih kamu merasa sangat lelah secara mental, bahkan ketika fisik sebenarnya nggak ngapa-ngapain? Atau mungkin, kamu sering meledak marah ke anak, dan menyesali tindakan itu kemudian? Hati-hati, kelelahan ini mungkin bukan sekadar kurang tidur, tetapi akumulasi dari beban mental tak terlihat (invisible mental load) dan luka masa lalu yang tanpa sadar memengaruhi cara kamu mengasuh.
Dalam sebuah diskusi mendalam bersama host Sabrina Anggraini dan narasumbernya dr. Elvine Gunawan, Sp.KJ, seorang dokter kejiwaan, topik toxic parenting dan bahaya pola asuh narsistik dikupas tuntas. Yuk, kita bahas poin-poin penting yang harus kita sadari dan pelajari untuk memutus rantai trauma dalam keluarga. Kalian bisa nonton selengkapnya di channel youtube Sabrina Anggraini yang berjudul Kenali Toxic Parenting: Bahaya Pola Asuh Tak Sadar | #BossMama Ep. 18
1. Beban Mental Tak Terlihat: Musuh Tersembunyi Ibu
Ibu sering kali menjadi manajer utama di kepala keluarga, memegang kendali atas semua beban mental: jadwal makan anak, deadline pekerjaan, urusan rumah tangga, hingga janji temu dokter. Inilah yang disebut invisible stress of motherhood.
Jika beban ini terus-menerus dipikul sendiri tanpa pengakuan dan dukungan, burnout tak terhindarkan. Kelelahan mental ini bisa membuat kita rentan meledak dan tanpa sadar melampiaskan stres kepada anak atau pasangan.
2. Jeda dari Heroism Mulai Mencintai Diri Sendiri
Banyak perempuan terperangkap dalam ekspektasi untuk menjadi "Superwoman" atau pahlawan (heroism) di rumah. Kita merasa harus mampu mengatasi semua masalah dan tidak boleh terlihat lemah di mata keluarga.
Padahal, mencari pertolongan bukanlah tanda kelemahan. Justru, itu adalah bukti bahwa kamu mencintai diri sendiri dan berkomitmen menjadi orang tua yang lebih stabil. Mengambil jeda dan meminta bantuan, baik dari pasangan maupun profesional, adalah langkah penting untuk mengisi ulang "energi mental" kamu.
3. Healing Diri yang Memutus Rantai Warisan Luka
Perjalanan menjadi ibu sering kali membuka kembali kotak luka masa kecil yang belum tuntas. Jika kamu dibesarkan dalam lingkungan yang keras atau penuh trauma, ada kecenderungan untuk memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap perilaku toxic dari pasangan atau secara tidak sengaja mengulangi pola asuh yang sama.
"Proses tumbuh kembang anak secara kesehatan jiwa dimulai dari perut ibunya."
Jika ibu tidak bahagia atau stres, proses neuro-development anak pun bisa terganggu. Oleh karena itu, healing diri adalah tanggung jawab utama kamu, agar luka lama tidak menjadi warisan yang ditransfer ke generasi berikutnya.
4. Waspada Pola Asuh Narsistik (Narcissistic Parenting)
Pola asuh narsistik terjadi ketika orang tua secara tidak sehat menjadikan anak sebagai perpanjangan diri untuk memenuhi kebutuhan emosional atau citra diri mereka. Beberapa contoh perilaku yang harus kamu waspadai:
1. Guilt Trip dan Manipulasi
"Mama sudah berkorban banyak, kok kamu nggak bisa nurut sih?" Kalimat ini membuat anak tumbuh dengan perasaan bersalah yang kronis (guilty trip), merasa tidak pernah cukup baik, dan dimanipulasi agar menuruti kemauan orang tua.
2. Pujian Berlebihan (Overpraise)
Anak yang terlalu sering dipuji berlebihan atau sebaliknya, diabaikan (overneglect), berpotensi tinggi tumbuh dengan sifat narsistik. Pujian harus berbasis prestasi nyata (misalnya, "Keren, kamu buang sampah di tempatnya!"), bukan pujian kosong berdasarkan eksistensi semata.
3. Favoritism (Anak Emas vs. Kambing Hitam)
Membandingkan anak (Golden Child vs. Scapegoat) menciptakan pola yang sangat ekstrem. Anak emas rentan tidak bertanggung jawab, sementara anak kambing hitam tumbuh dengan masalah mental karena selalu menjadi pihak yang disalahkan.5. Peran Krusial Ayah dalam Pembentukan Karakter
Seringkali, ayah hanya dilihat sebagai penyedia nafkah (materi). Padahal, peran ayah sangat vital dalam membangun attachment sehat, melatih empati, sosialisasi, dan mekanisme coping (cara mengatasi masalah) pada anak.
Kehadiran ayah bukan hanya soal kuantitas waktu, tetapi kualitas keterlibatan. Ayah harus aktif terlibat, bertanya tentang perasaan, dan membangun rasa aman (bukan hanya cinta) agar anak tidak tumbuh dengan anxious attachment atau ketidakpercayaan pada relasi.
6. Komunikasi dan Batasan (Boundary) yang Jelas
Prinsip utamanya: "Tidak ada bluetooth dalam rumah tangga." Jangan berharap pasangan mengerti kode atau pikiran kamu. Biasakan difficult conversation yang sehat seperti bicara langsung, jelas, dan to the point, bukan hanya kode-kodean.
- Latih Assertive Communication: Bicara to the point tentang masalah yang ingin diselesaikan, daripada bertele-tele atau menyampaikannya dalam bentuk kemarahan terselubung.
- Gunakan Teori SMART untuk menyelesaikan konflik (Specific, Measurable, Achievable, Realistic, Time-restriction).
Selain itu, hindari curhat masalah rumah tangga ke keluarga besar. Ketika kamu sudah memilih memaafkan dan bertahan, keluarga kamu mungkin masih menyimpan sakit hati, yang justru akan memperkeruh suasana.
7. Memilah Informasi untuk Anak
Anak tidak perlu tahu semua masalah orang dewasa. Berikan mereka informasi yang relevan dan berdampak pada kehidupan mereka, serta masalah yang memang bisa mereka bantu hadapi.
Boleh Diceritakan: Masalah ekonomi yang mengharuskan uang jajan diturunkan.
Tidak Perlu Diceritakan: Detail perselingkuhan, proses perceraian yang heboh, atau konflik serius orang dewasa yang hanya akan membebani mental anak.
Capek Itu Wajar, Healing Itu Kekuatan
Menjadi orang tua adalah perjalanan yang melelahkan dan penuh tantangan, itu wajar.
Jika kamu merasa kewalahan atau stuck dengan luka lama, jangan ragu mencari pertolongan profesional (psikolog atau psikiater). Mencari bantuan adalah bentuk tanggung jawab tertinggi kepada diri sendiri dan generasi selanjutnya.
Pola asuh terbaik bukanlah soal kesempurnaan, tapi soal bagaimana kamu hadir secara mental dan emosional untuk anak, setelah berhasil berdamai dengan luka diri sendiri. Putuskan rantai trauma itu, sekarang juga.
Bagaimana pendapat kamu, adakah toxic habit yang selama ini tanpa sadar kamu lakukan? Yuk, mulai proses healing bersama!
No comments:
Post a Comment